Sebuah catatan Kecil perjalanan dari dusun Napal Melintang
Perjalanan ini setidaknya telah membawa diri kami selangkah lebih mengenal bentang alam karst serta kehidupan sejarah dan budaya di dalamnya. Tentang sebuah sistem yang dibentuk tuhan dan para khalifah bumi dengan cara yang tak terduga. Kesatuan yang dihadirkan untuk saling melindungi, dari alam untuk manusia, manusia kepada
budaya, lalu budaya untuk alam dan begitupun sebaliknya…
Asap tembakau dengan sedikit aroma cengkeh mengepul memenuhi ruangan tamu rumah pak Kodri. Sebuah rumah sederhana beralas semen, beratap seng, dengan dinding yang kayu cukup memberikan perlindungan kepada kami dari dinginnya malam. Kopi menyisakan ampas hitam pekat didasar gelas. Tidak tahu sudah berapa gelas kopi yang kami habiskan. Asbak yang terbuat dari bakaran plastik itu pun sudah penuh dengan puntung rokok. Di teras rumah hentakan batu domino dan sesekali denting gitar menemani dendang suara jangkrik dibawah bentang alam gulita. Sementara itu mereka para tetua, masih terus terjaga dari malam yang menunjukkan pukul 22.15 WIB. Para lelaki berumur itu tak kunjung menyerah dengan kisah dan petuah yang terus mengalir dari bibirnya. Cerita usang yang barangkali tidak menarik lagi untuk didengar oleh para muda-mudi zaman milenial. Tapi kami hadir di sini justru menanyakan apa yang mereka harapkan untuk dibagi. Seperti air yang kami sodorkan kepada dahaga curahan kisah yang hendak mereka lontarkan sejak dahulu kepada para generasi muda. Lalu kami pun menyatu dalam sebuah kisah yang sangat rindu untuk kami dengarkan dari sudut negeri ini.
***
Dusun Napal Melintang, adalah bagian dari desa terpencil yang berjarak 56 km dari pusat pemerintah kecamatan Limun, 80 km dari ibukota Kabupaten Sarolangun atau 260 km dari ibukota Provinsi Jambi. Termasuk dalam kawasan karst yang dibentuk oleh bukit-bukit gamping berbentuk kerucut dengan relief sedang serta ketinggian berkisar 270-330 m diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng kurang lebih 36º.
Perjalanan menuju dusun ini bukanlah perkara mudah. Melewati area perbukitan dengan jalanan berlubang yang didominasi tanah merah berbukit akan menghambat kendaraan untuk sampai ke lokasi. Ditambah lagi bila musim hujan tiba, tidak jarang kendaraan akan menginap dijalanan karena tidak mampu melewati area yang rusak. Ketika sampai ditempat pun kita tidak bisa menikmati siaran televisi pada siang hari karena masyarakat hanya mengandalkan tenaga listrik PLTA yang dikelola desa dan hanya berfungsi pada malam hari dengan arus seadanya. Meski demikian pemandangan dan keindahan alam yang disuguhkan desa sangat memanjakan mata. Sayangnya momen itu tidak bisa langsung di unggah ke sosial media karena tidak ada jaringan internet atau sinyal handphone di desa ini.
Warga Dusun Napal Melintang jarang keluar dusun kecuali jika ada hal-hal penting atau mendesak. Mereka juga menyadari daerahnya sulit untuk dijangkau oleh masyarakat luar. Dusun ini bisa dikatakan sangat sederhana dengan perubahan sosial berlangsung sangat lambat. Maka tidak heran kondisi inilah yang membuat masyarakat terbiasa dengan lingkungan yang ada. Dan kondisi ini pula lah yang mengundang tim untuk mengetahui lebih dalam mengenai sejarah dan budaya masyarakat sekitar.
Sejarah
“Seperti daerah pada umumnya. Kehidupan yang muncul saat ini tidak serta merta muncul begitu saja. Ada kisah masa lalu yang memulainya hingga hadir kisah saat ini…” Begitulah kiranya pengertian sejarah menurut penuturan Pak Abdullah seorang narasumber yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Adat Dusun Napal Melintang saat kami mengobrol untuk pertama kalinya ditemani secangkir kopi.
Bagi para orang tua yang mengerti, Membahas tentang Napal Melintang tidak akan lepas dari sejarah dari Kawasan Bukit Bulan. Dalam ceritanya, di Bukit Bulan pada masa pendudukan belanda telah dibentuk satu pemerintahan lokal yang disebut dengan Marga yang dipimpin oleh seorang Pasirah (Kepala pemerintahan tertinggi di tingkat marga). Pemerintahan marga Bukit Bulan pada masa itu yang membawahi delapan Kampung, terbagi atas tiga Kampung Batin (Komunitas Masyarakat adat yang menetap di kawasan Marga Bukit Bulan, yang mengakui asal usul nenek moyangnya berasal dari Jawa (Mataram) yang menetap di Penegah dan menyusuri sungai ke arah hulu hingga sampai di Bukit Bulan) dan lima kampung Pangulu (Komunitas masyarakat adat yang menetap di kawasan Marga Bukit Bulan yang pada masa lalu merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung (Minangkabau)
“Dalam perkembangannya ke-8 (Delapan) Kampung ini berubah menjadi 5 Desa yaitu Desa Berkun, Desa Mersip, Desa Meribung, dan Desa Napal Melintang. Terdapat 1 (satu) desa lagi sebelum memasuki lembah tersebut yakni Desa Lubuk Bedorong. Kini bertambah satu desa yaitu desa Temalang yang merupakan pemekaran dari desa Lubuk Bedorong.” Tutur pak Abdullah sambil sesekali menghisap cerutunya.
Berdasarkan cerita rakyat yang disebutkan oleh warga Napal Melintang lainnya bahwa pada masa lalu berjalanlah menyusuri sungai ke arah hulu dari kawasan Penegah 9 (Sembilan) orang yang datang dari Minangkabau dengan meminta izin untuk menetap di kawasan hulu Sungai Limun kepada Raja Batin Penegah. Tujuannya adalah berkeinginan untuk mencari daerah yang disebut dengan Bukit Bulan. Dalam amanatnya, Rajo Manggalo Api (Raja Penegah pada masa itu) menyebutkan bahwa jika telah sampai dan bertemu dengan kawasan yang disebut dengan Bukit Bulan maka tanamlah keris di tempat tersebut.
Berbagai versi menyebutkan tentang tujuan mereka merantau ke daerah ini, beberapa masyarakat menyebutkan bahwa mereka mengikuti sinar yang memancar pada Bukit Bulan, sementara menurut Yudha (2009), Dari hasil penelusuran dengan beberapa orang tokoh adat, ada yang menyebutkan tujuan mereka datang untuk menyebarkan agama Islam ke daerah ini dan ada juga yang menyebutkan untuk mencari penghidupan karena di daerah ini banyak mengandung emas dan subur untuk bercocok tanam.
Dari 9 (sembilan) orang perantau tadi ada 1 (satu) orang yang meninggal dalam perjalanan dan 2 (dua) orang meninggal setelah mengambil keris pusaka, jadi yang tinggal dan sampai ke kawasan Bukit Bulan hanya 6 (enam) orang saja.
Singkat cerita sampailah mereka ke salah satu bukit yang dari jauh terlihat sinarnya berkilau saat diterpa sinar matahari, kini bukit tersebut dikenal dengan Bukit Bulan yang berada tepat di sekitar pemukiman dusun Napal Melintang. Setelah mereka sampai, ditanamlah keris tersebut di kaki Bukit Bulan sebagai tanda bahwa mereka telah menginjakkan kaki di sana dan meletakkan benda pusakanya di tempat tersebut sebagaimana yang diamanahkan oleh sang raja.
Lalu, dengan kesepakatan bersama, keenam orang tadi kembali ke Penegah untuk melaporkan perihal keberhasilan mereka dan meminta izin untuk bertempat tinggal dan mencari hidup di sana. Setelah mendapatkan izin untuk menetap dan membina rumah tangganya keenam orang yang berasal dari minangkabau ini mulai mempersiapkan kehidupan mereka di sana dan membangun kehidupan mereka dengan sebaik-baiknya.
Adapun beberapa nama yang merantau tersebut diantaranya adalah Datuk Mangkuto Alam menetap Dusun Temalang, Datuk Mangkuto Sati menetap di Dusun Sungai Beduri, Pangulu Batuah menetap di Dusun Meribung, Datuk Rajo Nan Sati menetap di Dusun Mersip, Bagindo Suman menetap Lubuk Bedorong, dan Singo Marajo menetap di Dusun Napal Melintang.
Nama terakhir diyakini merupakan salah seorang menantu dari bangsawan Bugis yang telah lama menetap di kawasan ini, konon di sebutkan sebagai Induk Semang di kawasan Bukit Bulan, akan tetapi silsilah keturunan dari Bugis tersebut tidak lagi ditemukan di daerah ini. Datuk Sati Mangku Rajo ini jugalah yang diyakini oleh masyarakat Dusun Napal Melintang sebagai nenek moyang mereka.
Melihat sejarah yang berkembang di kawasan Bukit Bulan, dikenallah salah satu bentuk sistem kekerabatan yang dalam bahasa lokal masyarakat disebut dengan Kalbu yang cukup berperan dalam berbagai hal yang menyangkut kemaslahatan warga di daerah ini. Kalbu adalah gabungan warga masyarakat yang merasa sebagai satu kesatuan keturunan atau berasal dari nenek moyang yang sama. Biasanya dari seseorang nenek moyang bisa menurunkan beberapa kalbu, sesuai dengan jumlah anaknya, dalam satu keluarga bisa terdapat sekitar 30 kepala keluarga inti, sampai saat ini masih jelas keberadaan kalbu yang ada di wilayah Marga Bukit Bulan ini. Dari penelusuran di Dusun Napal Melintang sampai saat ini masih dianut sistem kalbu, adapun kalbu yang ada di Dusun Napal Melintang adalah: Kalbu Kampung Benao, Kalbu Kampung Tengah, Kalbu Napal Melintang, dan Kalbu Kampung Bukit.
Keberadaan Kalbu ini sangatlah penting. Hal ini dapat terlihat pada acara-acara tertentu misalkan pada acara pernikahan, sunatan anak, pembangunan rumah, penyambutan terhadap tamu istimewa, dan cukuran anak. Yang mana dalam acara tersebut adanya aturan kehadiran ditengah masyarakat Napal Melintang dan Masyarakat lainnya di Bukit Bulan, yang berpusat pada keharusan dengan adanya Bungo Kalapo, bunga kelapo ini bukanlah hanya sebuah hiasan akan tetapi sebagai hantaran dari keluarga yang melaksanakan prosesi upacara tersebut. Bungo Kalapo yang telah dirangkai, selanjutnya akan dibawa ke lokasi prosesi. Pembuat dan pembawa Bungo Kalapo itu adalah Induk Bako (saudara perempuan ayah, Isteri saudara laki-laki ibu).
Bilamana semua anggota keluarga luas dari pihak keluarga yang melaksanakan prosesi dianggap telah lengkap dan mengantar semua Bungo Kalapo nya maka salah seorang Tuo Tenganai dari pihak keluarga besarnya menyampaikan kata hantaran bagi semua pihak yang hadir. Biasanya ungkapan adat yang disampaikan menyangkut sistem kekerabatan dan pentingnya kesatuan dari keluarga mereka.
Jika seorang saudara Perempuan ayah atau istri saudara laki-laki ibu disebut dengan Induk Bako, maka saudara laki-laki ibu disebut dengan Tenganai, yakni salah seorang yang dituakan/ditokohkan dalam suatu kampung, kalbu, atau pun rumah. Peran tenganai adalah yang menentukan tengah dan tepi, ujung ataupun batas.
“Anak barajo ka bapak, Kemenakan Barajo ka mamak, umah sekato tenganai, Luak ba pangulu, Kampung ba tuo, Alam barajo” demikianlah pepatah adat yang dikutip oleh pak Abullah kepada kami prihal kekerabatan atau garis keturunan.
Budaya Lokal
Kearifan budaya lokal atau sering pula di sebut dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi, kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus di bangun. generasi ke generasi lainnya yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang gaib. (Yudha, 2009)
Dari hasil diskusi dengan Bapak Abdullah (Ketua Adat Napal Melintang) diperoleh kearifan budaya lokal dalam bidang pengelolaan sumber daya alam di dusun Napal Melintang secara umum yang juga berlaku bagi masyarakat kawasan Bukit Bulan diantaranya sebagai berikut :
Biang Cokiak
Membuka lahan meninggalkan sisa/mubazir, dalam membuka lahan tidak dibolehkan meninggalkan sisa lahan antara lahan yang akan dibuka dengan lahan orang lain, hendaklah sisa tersebut dimanfaatkan.
Sawai Ngulang Anak
Tidak dibolehkan untuk membuka lahan yang telah dibuka pada tahun sebelumnya, hendaklah ditunggu dulu selama 5 tahun ke depan untuk dibuka kembali.
Comin Bangkai
Di antara dua orang bersaudara di larang untuk membuka lahan berdekatan, atau bersebelahan.
Apik Bangkai
Tidak di bolehkan bagi dua orang bersaudara untuk membuka lahan sementara diantara lahan mereka telah ada orang lain yang membuka lahan tersebut.
Kijang Ba’anyuik
Tidak di bolehkan untuk menambah lahan menuruni tebing yang di bawahnya ada anak sungai atau sungai.
Guling Arang
Membuka kebun mestilah meluruskan garis batas kebun tersebut.
Ada pula pantangan yang mengatur tentang tanaman dan sumber daya air meliputi:
– Dian dak bulih di panjek (Durian tidak boleh di panjat)
– Potai dak bulih di tobang (Petai tidak boleh ditebang)
– Kepayang dak bulih di tobang ( batang kepayang tidak boleh ditebang)
– Topian dak bulih di tubo.(Sungai tidak boleh diracuni)
– Ulu aie dak bulih di bukak (hutan hulu sungai tidak boleh dihabisi)
Salah satu bentuk pemanfaatan alam tapi tetap mempertimbangkan pelestariannya yang terkahir kali dilakukan oleh masyarakat Napal Melintang adalah pengesahan Lubuk Larangan sungai Limun yang dikelola langsung oleh masyarakat dusun pada bulan Februari 2018. Lubuk Larangan lebih mirip seperti tempat penangkaran ikan secara alami yang biasanya menggunakan media sungai. Tidak ada perlakuan spesial seperti halnya dalam budidaya ikan. Hanya saja masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengambil ikan-ikan yang ada di wilayah lubuk larangan yang sudah ditentukan sampai pada pada waktunya tiba. Tempat dan masa panen lubuk larangan sesuai kesepakatan. Jika masa panen tiba ikan-ikan hasil penen akan dibagikan secara merata ke masyarakat. Cara panen pun diatur, misalkan tidak boleh menggunakan bahan kimia, atau mengambil ikan-ikan tertentu. Jika melanggar maka masyarakat akan didenda berupa kambing atau duit sekitar 5 juta rupiah. Inilah bentuk sederhana masyarakat dalam memanfaatkan hasil alam tanpa harus merusaknya.
Di lain hal, Desa ini memiliki makanan khas seperti singgang/pepes. Kerajinan tangan berupa tikar, bakul, tudung saji, dan kiding. Serta alat musik yang disebut Oguang, yang terbuat dari kuningan dan dipukul sebagaimana gamelan di daerah Jawa.
Budaya menarik lainnya adalah sistem musyawarah yang selalu melekat dalam pengambilan keputusan yang dianggap penting. Seperti halnya dalam acara pernikahan yang diungkapkan oleh Pak Kodri bahwa ada tradisi yang biasa dilakukan penduduk dusun, dimana pihak laki-laki menjemput pihak perempuan untuk dibawa ke rumah dan tinggal di rumah pihak laki-laki sementara waktu, saat itulah pihak laki-laki dan keluarga melakukan musyawarah dirumah pihak perempuan. Musyawarah tersebut untuk menentukan tanggal-tanggal penting resepsi pernikahan, pinto minto dan konsep adat yang dilakukan saat resespsi pernikahan. Pinto minto yang dimaksud adalah mengenai rencana sedekah dalam bentuk uang dan juga adat penyerahan Kujua (Tombak) dan Kris (Keris) oleh pihak laki-laki, Kujua dan kris yang diserahkan adalah benda turun temurun dari leluhur sebelumnya.
Begitulah kiranya cerita singkat mengenai desa yang kami kunjungi. Sebuah cerita leluhur yang turun temurun diperdengarkan kepada anak mereka. Sebuah warisan budaya yang melekat diingatan dan akan mengenang dari mana mereka berasal, atau sebuah pengingat tentang sebuah hasil kerja keras dan kebersamaan. Entah sudah sampai pada generasi keberapa mereka yang tengah duduk mengitari kami. Tapi kefasihan mereka melafalkan setiap makna dari kata-kata yang terucap menjelaskan bahwa cerita ini adalah sebuah jamuan yang sudah sering diperdengarkan.
Tidak tahu sampai kapan semua akan bertahan. Bukit bulan tak lagi menebar cahaya, Matahari mulai enggan untuk membiaskan cahayanya lewat bukit putih itu. Tinggallah cahaya bulan itu sebuah cerita nostalgia para leluhur. Lalu di abad berbeda (sekarang) tapi di tempat yang sama, cerita dongeng itu berevolusi tema. Bukan lagi tentang cahaya bulan yang memudar, atau para leluhur dengan keris betuah dan kegigihannya. Penguasa mulai mendikte cerita. Lalu dilain pihak beberapa oknum mulai mencari celah untuk mengeksploitasi daerah ini menjadi pusat industri. Kawasan Bukit Bulan semakin diambang kesakitan. Cahaya bulannya menghilang dari dinding bukit putih, sedangkan cerita rakyatnya hanya tersimpan dibalik bibir wajah keriput. sekarang semuanya di ambang kepunahan termasuk semua bukit-bukit perkasa itu. Lalu esok, Bukit Bulan menghilang seperti tak pernah ada di peradaban.
Oleh : Wildan Suprian Syah (SGJ 200 PTS)
0 Komentar