“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan, seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objek-objeknya, mencintai tanah air Indonesia dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dengan dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat kerena itulah kami naik gunung” (Soe Hok Gie)

Banyak orang bilang mendaki gunung adalah pekerjaan bodoh serta gila, buat capek, kotor, orang yang sering naik gunung adalah amor fati, mencintai kematian dan berbagai macam sebutan untuk seorang pendaki dari orang-orang awam yang sebenarnya belum benar-benar mengetahui hakekat dari mendaki gunung. Toh, para pendaki gunung tetap berjalan dengan tekad dan semangat yang kuat sambil menggendong tas carrier dengan bangganya dan berkata “Gunung Aku Datang”

Pernahkah orang berpikir bahwa untuk mencapai puncak suatu gunung memerlukan suatu proses yang panjang dan melelahkan namun dibalik setiap proses yang dilalui tersimpan hikmah perjalanan hidup manusia dan bagaimana seseorang menghargai kehidupan. Disinilah seorang pendaki akan berproses dan proses inilah yang tidak dipahami dan dialami oleh orang awam lainnya. Mungkin saja jika setiap orang memahami dan meresapi proses ini maka akan ramai yang akan mendaki gunung serta berpetualang di alam bebas.

Banyak hal yang harus dilakukan sebelum mendaki gunung, salah satunya harus mengetahui keadaan medan yang akan dilalui serta berapa lama perjalanan yang akan ditempuh. Disinilah proses belajar itu dimulai, dimana kita mencoba memahami tempat yang akan dilewati walaupun kaki kita belum pernah melangkah kesana sebelumnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui keadaan medan yang akan ditempuh adalah mencari informasi melalui mereka yang pernah kesana sebelumnya atau melalui informasi media cetak seperti buku dan elektronik seperti internet. Diperlukan ketelitian dalam menyusun rencana perjalanan, agar semua dapat berjalan secara sistematis dan tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak diinginkan bahkan dengan perencanaan perjalanan yang buruk dan tidak teratur dapat mengakibatkan kematian pendaki. Maka dari itu setiap pendaki harus lebih mengutamakan safety procedure tidak hanya berambisi ingin segera sampai ke puncak namun persiapan sangat minim, hal demikianlah yang seharusnya dihindari oleh seorang pendaki. Disinilah sebuah penghargaan terhadap hidup jelas terlihat. Melewati sebuah medan yang cukup berbahaya bahkan dapat merenggut nyawa namun dengan perencanaan dan perlengkapan yang matang, seorang pendaki dapat dengan mantap melangkah menuju puncak idaman.

Sebelum kaki melangkah menuju puncak, kita akan menemukan sebuah perkampungan yang terletak tidak jauh dari lokasi dimana sebuah gunung gagah berdiri. Perkampungan yang sarat dengan kehidupan sederhana bahkan terkadang mengalami kekurangan namun mereka tetap tidak melupakan budaya bangsa Indonesia yang telah lama hilang di kota yaitu, gotong royong dan kekeluargaan. Sangat kental terasa budaya itu masih dianut oleh tiap-tiap penduduk kampung. Sifat yang ramah tamah. Mereka tidak sibuk mengejar materi dengan melupakan tetangga bahkan keluarga, mereka menjalin hidup dengan keterbatasan yang mereka miliki namun masih ingin berbagi dan tolong menolong. Potret kehidupan kampung ini sangat membekas untuk tiap-tiap pendaki yang meresapinya bahkan ketika mereka kembali ke kota. Keinginan untuk menjalani kehidupan perkampungan yang sederhana itu sangat kuat, namun pengaruh dari luar serta sulitnya keadaan ekonomi membuat rakyat kita lupa untuk saling berbagi dan tolong menolong.

Ketika mulai mendaki banyak cobaan yang akan ditemui oleh seorang pendaki seperti rasa capek, dingin, mengantuk, serta rasa ingin menyerah yang jika diikuti akan meninggalkan sesal yang mendalam tapi disinilah proses penempaan itu. Seorang pendaki gunung yang menempa dirinya dengan kehidupan alam bebas yang buas namun bisa sangat bersahabat jika kita benar-benar mencintainya. Dalam proses ini pendaki belajar bagaimana bertahan hidup dengan perlengkapan seadanya serta bagaimana cara membangun kerja sama tim yang solid jika pendakian dilakukan oleh lebih dari satu orang. Ego harus dibuang jauh–jauh karena sama sekali tidak akan membantu proses pendakian, bahkan malah memperkeruh keadaan. Para pendaki juga belajar untuk saling berbagi, berbagi tenda yang sempit, berbagi makanan yang seadanya serta saling tolong menolong jika salah satu sedang mendapat kesusahan. Namun sesulit apa pun yang mereka dapatkan dalam perjalanan itu tetap terasa nikmat dan akan sangat indah jika dikenang dan mulut-mulut para pendaki yang mengatup menahan dingin akan bergumam “Terima Kasih Tuhan Atas Nikmat-Mu.”

Puncak adalah tujuan seorang pendaki gunung, ketika mereka menapaki puncak tersebut akan didapati pemandangan yang begitu luar biasa. Lukisan alam dari seorang pelukis ternama pun tak dapat menyamai keindahan lukisan sang Maha Agung yang nyata ini. Panorama yang akan menimbulkan rindu di setiap hati yang melihatnya. Awan dapat terlihat dengan menundukkan kepala ketika kita berada di puncak. Mulut pun tak hentinya mengucapkan kekaguman akan keindahan alam ciptaan Tuhan Sang Pemilik Kehidupan.

Hendry Dunnant pernah berkata “tidak akan hilang pemimpin suatu bangsa jika pemudanya masih ada yang suka masuk hutan, berpetualang di alam bebas dan mendaki gunung.” Tampaknya Bapak Pandu Dunia ini sangat mengerti bahwa bergiat di alam bebas ini akan membentuk pribadi seseorang yang menghargai hidup, pribadi yang menampakkan ciri-ciri seorang pemimpin serta karakter-karakter lainnya yang peduli terhadap lingkungan, masyarakat bawah dan sanggup bertahan dengan cobaan yang datang dan mampu memanajemen perjalanan dengan baik dan sistematis agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Hendaknya para pemimpin bangsa ini berkenan untuk mendaki gunung setidaknya berekreasi di alam bebas di sela-sela kesibukan yang padat untuk melihat bagaimana kondisi rakyat yang berada ditangannya dari dekat melalui sisi yang berbeda, atau setidaknya mencoba meresapi kata-kata Soe Hok Gie diatas. Sedangkan generasi muda yang seyogyanya pewaris peradaban dan pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini harusnya bisa menikmati alam yang ditempatinya dengan melewati proses yang semestinya memang harus dijalani sekaligus menjaganya dan melindunginya. Karena mendaki gunung dan berpetualang di alam bebas membentuk seorang pemimpin yang berkarakter yang peduli kepada rakyatnya.

Oleh: Abus Siraj (SGJ 149 TRB)

Kategori: Feature

0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!