Bagian I
ditinjau dari fungsi kewenangan.
Ada pepatah kita yang mengatakan “tak ada asap tanpa api”, dihubungkan dengan sistem hukum pidana dinegara kita ini senada dengan “tiada pidana tanpa kesalahan” atau umumnya kita kenal dengan teori sebab akibat.
Berangkat dari hal diatas dapatlah kita telusuri bahwa asap yang menyelimuti wilayah Sumatera, Kalimantan dan sekitarnya adalah bersumber dari sebab kebakaran hutan yang sengaja dibakar oleh pihak-pihak yang tidak bertangungjawab sehingga berakibat merusak lingkungan secara nyata, lingkungan sebagaimana dimaksud dalam hal ini adalah seluruh mahluk hidup yakni Manusia, Hewan, dan juga tumbuh-tumbuhan lain yang mengalami kerusakan juga non mahluk hidup seperti fasilitas-fasilitas pemukiman warga diareal hutan dan juga fasilatas umum yang tidak dapat beroperasi akibat terhentinya aktivitas.
Setelah sebab dan akibat sudah sangat terang kita ketahui, maka timbul pertanyaan bagi kita yakni “siapa pihak yang tidak bertanggungjawab itu ??”. ini bisa kita jawab dengan menginvetarisir subjek pengguna hutan tersebut. Pertama, subjek pengguna hutan untuk dikelola menjadi areal produksi adalah perorangan/individu dan perusahaan/koorporasi, Kedua, perberi ijin pengelolaan lahan hutan adalah Pemerintah. Ketiga, pengawas Pengelolaan Hutan adalah Pemerintah. Keempat, pendapatan dari biaya ijin untuk mengelola hutan adalah masuk kedalam Pendapatan Pemerintah.
Dari hasil inventarisir tersebut ternyata Pemeritah adalah subjek yang paling sering muncul dalam hal-hal terkait pengelolaan hutan, ini membuka mata kita bahwa pada faktanya Pemerintah sebenarnya sudah bisa memprediksi ini jauh sebelum bencana asap ini terjadi. Pemerintah menyadari kelemahan peraturan (regulasi) yang diciptakan. Pemerintah mengetahui bahwa ijin yang diberikan kepada Perusahaan/koorporasi ini mungkin untuk disalahgunakan dalam pengelolaannya. Pemerintah juga sadar bahwa tindakan pengelolaan hutan oleh Perusahaan/koorporasi dapat membahayakan lingkungan karena tidak ada lagi fungsi pengawasan yang dilakukan pasca pemberian ijin.
Sehingga untuk menjawab pertanyaan terkait pertanggungjwaban maka Pemerintah adalah bagian dari penanggungjawab dalam hal kebakaran hutan yang mengakibatkan bencana asap. Tentu penilaian ini bukan tanpa dasar, dasarnya adalah sebagai berikut ;
Bahwa Pemerintah atau didalam Trias Politica kita kenal dengan istilah Eksecutif, pada faktanya juga memiliki fungsi Legislatif dan fungsi Yudicatif didalamnya. Bahwa fungsi Legislatif oleh Pemerintah tampak pada Produk Hukum yang dibuatnya atau lebih jelas kita kenal dengan Peraturan Pemerintah juga dokumen-dokumen ijin yang diterbitkan membuat makna fungsi legislatif dengan cara me-legalisasi-kan sebuah perbuatan hukum oleh Perusahaan. Bahwa fungsi Yudicatif oleh Pemerintah tampak pada seruan Pemerintah yang baru-baru ini kita dengar, mereka meneriakkan “Kami (Pemerintah) akan mencabut ijin-ijin Perusahaan yang terbukti membakar hutan”, jelas bahwa ternyata Permintah memiliki kekuatan yudikasi sebagaimana halnya kekuatan sebuah lembaga peradilan yang mengikat yang dimiliki oleh Pemerintah.
Adalah kekeliruan apabila Pemerintah hanya memposisikan diri sebagai fungsi Eksecutif sementara sadar atau tanpa sadar fungsi Legislasi dan Yudikasi juga sebenarnya melekat pada diri Pemerintah, sehingga pada kesimpulannya Pemerintah haruslah bertanggungjawab atas Bencana Asap yang terjadi baik karena keikutsertaanya dalam hal Pengelolaan Hutan ataupun atas dasar Kepentingan Umum.
Bagian II
ditinjau dari Pasal 49 UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Didalam Pasal 49 UU Kehutanan dikatakan bawah “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. ini adalah pasal yang oleh Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah (non goverment organization / NGO) lainnya sebagai “senjata” paling mutakhir dalam membebankan pertanggungjawaban khususnya terkait “asap” kepada perusahaan-perusahaan pemilik izin.
Satu hal yang menarik bagi penulis di dalam kesederhanaan untuk coba menguraikan hal-hal yang terkandung dalam Pasal 49 tersebut. diawali dengan menyederhanakan istilah bertanggung jawab atau pertanggungjawaban, adapun sebagaimana dimaksud pertanggungjawaban yaitu suatu bentuk aksi dari sebuah tanggung jawab terhadap sesuatu.
sehingga di dalam tulisan ini penulis membagi pertanggungjawaban yang dimaksud menjadi ON-OF Accountability, yaitu pertanggungjawaban dalam bentuk perbuatan (accountability ON action) atau “ ada tanggung jawab maka ada perbuatan ”. selanjutnya, yaitu pertanggungjawaban dari perbuatan (accountability OF action) atau “ tiada tanggung jawab maka tiada perbuatan ”.
Artinya, Accountability on action adalah pertanggungjawaban yang dilakukan dalam bentuk perbuatan atau tindakan karena berangkat dari telah dilakukannya suatu perbuatan. sedangkan accountability of action adalah pertanggungjawaban oleh orang atau badan yang dibebankan tanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya dari sebuah perbuatan, sehingga terbatas pada pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 tersebut penulis sepakat dan sependapat agar perusahaan dibebankan tanggung jawab. pertanyaannya kembali muncul adalah, apakah ON Accountability (accountability on action) atau OF Accountability (accountability of action) yang akan dibebankan kepada perusahaan pemilik izin ???.
Sesuai tulisan penulis pada tulisan sebelumnya bahwa asas “tiada pidana tanpa kesalahan” harus tetap dikedepankan dari pada asas “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” yang berangkat dari teori absolute liability/absolute accountability (tanggung jawab mutlak). arah pemikirannya sangat sederhana, yakni didalam mentafsirkan asas dan pasal 49 tersebut diatas coba kita uji dengan argumentum a contrario (kebalikan penerapan). Pertama, peristiwanya pokoknya adalah “tiada pidana tanpa kesalahan” sehingga contrario nya adalah “ada pidana dengan kesalahan” sejauh ini kalimat contrario tersebut tidak bertentangan dengan peristiwa pokoknya. kedua, peristiwa pokoknya adalah Pasal 49 “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” sehingga contrario nya adalah “Pemegang hak atau izin TIDAK bertanggung jawab atas TIDAK terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya” lagi lagi contrario nya tidak bertentangan dengan peristiwa pokoknya bukan ?, nah selanjutnya ketiga, kita coba uji asas peristiwa pokoknya yakni “(ada) pertanggungjawaban tanpa kesalahan” asas yang digunakan menguatkan Pasal 49, maka contrario nya adalah “tiada pertanggungjawaban dengan (ada) kesalahan”, sehingga tampak jelas dari contrario tersebut apakah kita sepakat dengan tidak adanya pertanggungjawaban apabila adanya kesalahan ?” ini jelas bertentangan dengan peristiwa pokoknya, maka dengan demikian dapat kita menyimpulkan bahwa asas “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” tidak efektif untuk diterapkan, atau setidak-tidaknya penulis belum diyakinkan oleh penganut asas tersebut.
Pada kesimpulan nya penulis menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk membebankan tanggung jawab kepada perusahaan terkait kebakaran hutan masih perlu argumentasi yang kuat, tidak hanya mengusung pasal 49 UU Kehutanan semata melainkan harus menjelaskan maksud dari pasal tersebut secara detail sehingga tidak bias dalam penafsiran. sanksi pencabutan tanggung izin yang telah dikeluarkan bukan solusi atau jawaban dari bentuk pertanggungjawaban yang diharapkan oleh undang-undang, sebaliknya undang-undang atau pun kita sendiri secara pribadi lebih mengharapkan pemulihan keadaan (reklamasi) seperti keadaan semula atau beban ganti rugi dan kompensasi dari perusahaan, sebagaimana kita kiranya lebih mengedepankan ON daripada OF Accountability yakni mengedepankan agar perusahaan melakukan Perbuatan (tindakan) Pertanggungjawaban (accountability on action) daripada memberikan sanksi Pencabutan Izin Perusahaan oleh Pemerintah sebagai bentuk dari Pertanggungjawaban Perbuatan (accountability of action).
Oleh : Parulian Siburian SH (SGJ 182 KGS)
0 Komentar